Hikmah 2: Syahwah & Himmah dalam Kitab Al-Hikam karya Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari

 



Manusia diciptakan oleh Allah dengan tujuan utama untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman Allah:

"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
(QS. Az-Zariyat: 56)

Setiap amal manusia akan dinilai dari dua sisi, yaitu amal itu sendiri dan niat di balik amal tersebut, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ:

"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, kitab Al-Hikam karya Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari menjadi salah satu rujukan utama para ulama dalam membimbing hati agar senantiasa lurus menghadap Allah. Kitab ini memberikan pencerahan dan nasihat bagi siapa saja yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan niat yang tulus dan amal yang ikhlas.

Hikmah 2: Kitab Al-Hikam

إِرَ ادَ تُــكَ الـتَّجْرِ يْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَ ةِ الْخَفِـيـَّةِ.

وَ إِرَادَ تُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ

"Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau di dalam asbab, merupakan syahwah yang tersamar (halus). Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi."

Untuk membantu memahami hikmah ke 2 ini, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu istilah asbab, tajrid, syahwat, dan himmah.

1.       Asbab

Asbāb (أسباب) adalah istilah dalam bahasa Arab yang berarti sebab-sebab atau faktor-faktor. Yakni, kondisi seseorang yang memerlukan asbab untuk mencapai tujuannya. Jika ingin pintar harus belajar, jika ingin sembuh dari sakit harus berobat, jika ingin kaya harus bekerja, dan sebagainya.

2.       Tajrid

Tajrid (تجريد) secara harfiah dalam bahasa Arab berarti "melepaskan", "membersihkan", atau "memurnikan". Yakni melepaskan diri dari ketergantungan duniawi demi fokus kepada Allah SWT. Tidak tersibukkan dengan urusan kerja, dagang, bertani, dsb.

3.       Syahwat

Syahwah (atau syahwat) secara bahasa memiliki arti: tatapan yang kuat, atau keinginan. Secara maknawi merupakan keinginan kepada bentuk-bentuk material dan duniawi, seperti harta, makanan dan lawan jenis. Berbeda dari syahwat, hawa-nafsu (disingkat “nafsu”) adalah keinginan kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego, kesombongan, dan harga diri.

4.       Himmah

Himmah merupakan lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Namun bila syahwat merupakan keinginan yang rendah, maka himmah adalah keinginan yang tinggi, keinginan menuju Allah.

 

Penggalan Hikmah yang pertama berbunyi:

"Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih menegakkan engkau di dalam asbab, merupakan syahwah yang tersamar (halus).”

Penjelasan:

Sesorang yang Allah posisikan dalam keadaan/maqom asbab, tapi ia menginginkan tajrid, maka haruslah hati-hati jangan-jangan itu termasuk syahwat yang tersamar.

Contoh: Seorang pegawai KPK yang memiliki tugas mulia memberantas korupsi, menegakkan keadalilan, menyelamatkan kekayaan dan asset negara untuk keperluan ummat hingga kesibukannya membuat dia tidak memiliki waktu yang banyak untuk berkhalwat dengan Allah, shalatnya yang wajib-wajib saja, qiyamullail, tilawah Quran, dan ibadah-ibadah sunnahnya biasa-biasa aja. Kemudian orang ini ingin tajrid, meninggalkan pekerjaannya, karena ingin punya banyak waktu untuk berkhalwat dengan Allah, padahal perannya di perkerjaanya sangat dibutuhkan. Berhati-hatilah, jangan-jangan keinginan ini adalah syahwat yang tersembunyi.

Yang perlu kita fahami, maqom asbab ini adalah maqom yang juga mulia selama tidak melalaikan diri dari mengingat/berdzikir kepada Allah.

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Apabila salat (Jumat) telah dilaksanakan, bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung. (Al-Jumu‘ah [62]:10)

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ ، وَإِنَّ نَبِىَّ اللَّهِ دَاوُدَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ

“Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dari makanan yang ia makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Karena Nabi Daud ‘alaihis salam dahulu juga makan dari hasil kerja keras tangannya.” (HR. Bukhari, no. 2072, dari Al-Miqdam).

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْفِقُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّآ اَخْرَجْنَا لَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ ۗ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ وَلَسْتُمْ بِاٰخِذِيْهِ اِلَّآ اَنْ تُغْمِضُوْا فِيْهِ ۗ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Wahai orang-orang yang beriman, infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu infakkan, padahal kamu tidak mau mengambilnya, kecuali dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Al-Baqarah  [2]:267)

 

Penggalan Hikmah yang kedua berbunyi:

“Dan keinginanmu kepada asbab, pada saat Allah sudah menegakkan engkau dalam tajrid, merupakan suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi."

Penjelasan:

Sesorang yang Allah posisikan dalam keadaan/maqom tajrid, tapi ia menginginkan asbab, maka haruslah hati-hati karena itu bisa termasuk suatu kejatuhan dari himmah yang tinggi.

Contoh: Seorang ibu yang memiliki anak yang masih memerlukan asuhan dari dirinya, sedangkan ia dalam keadaan kebutuhannya sudah dipenuhi oleh suaminya. Mengurus anak dan pekerjaan rumah bukanlah perkerjaan yang mudah. Tenaga, hati, pikiran, dan waktu seorang ibu semua tercurah dalam 24 jam nonstop. Tapi ini adalah perkerjaan yang mulia di sisi Allah. Oleh karena itu, ketika seorang ibu menginginkan asbab, haruslah berhati-hati jangan-jangan keinginan tersebut merupakan kejatuahan dari himmah yang tinggi.

 

Contoh lain yang juga dapat menjelaskan kedua hikmah diatas yaitu:

Ada dua macam orang yang berangkat pergi ke Mekah ketika musim haji. Orang yang pertama berangkat ke Mekah untuk menjadi petugas penyelenggara ibadah haji, sebagai tenaga kesehatan misalnya. Sedangkan orang kedua berangkat ke Mekah untuk beribadah haji. Orang yang pertama itu maqomnya asbab, disana dia harus bekerja membantu orang yang sakit, dsb. Sedangkan orang kedua maqomnya tajrid, semua kebutuhannya sudah dipenuhi, jadi orang kedua dapat fokus beribadah disana. 

Jika orang pertama yang di posisi asbab ingin pindah ke posisi tajrid, ingin fokus beribadah dan tidak mengerjakan tugasnya. Ini adalah syahwat yang halus meskipun keinginannya itu untuk beribadah.

Jika orang kedua yang diposisi tajrid ingin pindah ke posisi asbab, ingin berdagang atau berbisnis dan meninggalkan tujuan utama dia berangkat ke Mekah, yakni ibadah haji. Ini adalah kejatuhan dari himmah yang tinggi.

 

Demikianlah penjelasan terkait hikmah ke 2 dari kitab Al-Hikam karya Imam Ibnu Athaillah As-Sakandari. Somga Allah senantiasa membimbing hati dan amal kita agar senantiasa berada di jalan Allah. Aamiin yaa Allah yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Comments

Popular posts from this blog

Kultum Bahasa Inggris

Pengertian dan Keutamaan Puasa - Kultum Ramadhan